Minggu, 22 Februari 2009

Contextual Teaching and Learning

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)
PADA DIKLAT GURU MATA PELAJARAN KIMIA
MADRASAH ALIYAH (MA)
Zainul Arief
(Widyaiswara Pertama Balai Diklat Keagamaan Surabaya)

Abstrak : Proses pembelajaran Kimia di beberapa Balai Diklat keagamaan masih terkendala oleh tidak adanya laboratorium kimia yang representative. Hal ini menyebabkan pembelajaran kimia hanya sebatas proses penyampaian “pengetahuan tentang ilmu kimia”. Hanya sedikit yang arahnya pada proses internalisasi nilai-nilai sikap ilmiah yang seharusnya dimiliki oleh guru Kimia. Sikap ilmiah yang diharapkan dari peserta bukan berasal dari metode ceramah atau bahkan dengan menunjukkan praktikum yang ditayangkan melalui software computer di layar LCD. Seharusnya sikap ilmiah dari peserta diklat berasal dari hasil mereka berlatih mengerjakan praktikum sendiri atau secara berkelompok. Penulis sering melihat di beberapa sekolah SMA atau MA, guru menyajikan praktikum kimia hanya dengan menayangkan praktikum di layar computer tanpa praktikum yang seharusnya dilaksanakan oleh peserta didik. Hal ini tentu kurang baik dalam penanaman sikap ilmiah kepada peserta didik. Untuk itu perlu adanya inovasi dari WI untuk memberikan yang terbaik bagi peserta diklat. Dalam hal praktikum bisa dengan saling membantu, peserta diklat membawa peralatan praktikum sedangkan Balai Diklat menyiapkan bahan-bahan praktikum. Sedangkan dalam hal metode pembelajaran, WI menyajikan dalam bentuk metode kontekstual (Contextual Teaching and Learning/ CTL)). Dalam pembelajaran kontekstual terdapat 7 (tujuh) prinsip, yaitu: (1) constructism, (2) inquiry, (3) questioning, (4) learning community, (5) modeling, (6) reflection, dan (7) authentic assessment. Dilihat dari prinsip-prinsip tersebut, memungkinkan terjadinya proses internalisasi nilai-nilai sikap ilmiah pada peserta diklat yang nantinya akan diberikan pada siswa di madrasah.

Key Word: kontekstual, CTL, kimia


Pendahuluan
Proses pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh dua pihak yang keduanya berperan sebagai subyek, yakni anak didik/ peserta diklat sebagai pembelajar dan guru, dosen/ widyaiswara (WI) sebagai pengajar. Pembelajar melakukan kegiatan belajar sedangkan pengajar melakukan kegiatan mengajar. Kata “belajar” dan “mengajar” bermakna aktif, artinya subyek yang melekat pada kedua kata tersebut sama-sama melakukan aktivitas berupa aktivitas fisik maupun mental. Dengan demikian proses pembelajaran akan berjalan secara baik apabila arah proses yang terjadi berjalan secara dua arah, tidak satu arah.
Dari sekian banyak definisi pembelajaran atau learning, ada dua definisi yang patut saya kutip: (1) ”A relatively permanen change in response potentiality which occurs as a result of reinforced practice” dan (2) “a change in human disposition or capability, which can be retained, and which is not simply ascribable to the process of growth”. Dari dua definisi ini ada tiga prinsip yang layak diperhatikan. Pertama, belajar menghasilkan perubahan perilaku anak didik yang relatif permanen. Artinya, peran penggiat pendidikan, khususnya guru dan dosen adalah sebagai pelaku perubahan (agen of change).
Kedua, anak didik memiliki potensi, gandrung, dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan tanpa henti. Maknanya pendidikan seyogyanya menyirami benih kodrati ini hingga tumbuh subur dan berbuah. Proses belajar-mengajar, dengan demikian, adalah optimalisasi potensi diri sehingga dicapailah kualitas yang ideal, apabila tidak dikatakan sempurna, dan relatif permanen.
Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami linear sejalan proses kehidupan. Artinya, proses belajar-mengajar memang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, tetapi ia didesain secara khusus, dan diniati demi tercapainya kondisi atau kualitas ideal seperti disebut di atas.
Konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteksnya dan tidak serta merta didapat secara tiba-tiba. Berbeda dengan Rasulullah yang mendapat pengetahuan secara langsung dari Malaikat Jibril. Beliau langsung menjadi manusia yang pandai. Akan tetapi untuk mempertahankan pengetahuan beliau, tetap saja diperlukan pengecekan oleh Malaikat Jibril secara priodik. Hal ini diperlukan untuk mengkonstruksi pengetahuan beliau dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan demikian belajar dimaknai sebagi proses membangun gagasan baru secara terus-menerus atau memodifikasi gagasan lama dalam struktur kognitif yang senantiasa disempurnakan. Belajar tidak hanya menggali informasi atau mengkaji materi pelajaran, namun harus mampu menciptakan perilaku ilmiah dengan senantiasa menggunakan metode ilmiah dan sikap ilmiah. Kondisi inilah yang dimaksud komunitas belajar (learning community) dalam pendekatan kontekstual. Dengan demikian aktivitas belajar meliputi membaca, menyimak, menemukan, dan mendiskusikan, semuanya berada pada kerangka kegiatan ilmiah yang di dalamnya terdapat kegiatan memecahkan masalah. Ratna W. Dahar berpendapat bahwa prinsip yang paling esensial dari teori konstruktivisme ialah anak-anak memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah dan pendidikan seharusnya memperhatikan itu untuk menunjang proses alamiah.
Guru-guru IPA, khususnya guru kimia harus mempunyai sikap ilmiah, jangan sampai dalam memberikan pelajaran kimia, lebih banyak dengan menggunakan metode ceramah dan mengerjakan soal-soal saja. Hal ini sangat jauh dari jiwa sikap ilmiah yang diharapkan. Strategi pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai alternatif untuk proses internalisasi sikap ilmiah adalah pembelajaran yang didalamnya mengakomodasikan keterlibatan siswa secara fisik maupun mental. Pembelajaran yang dimaksud adalah ”Contextual Teaching and Learning (CTL)’’, karena di dalam CTL ini siswa diberi kesempatan untuk membangun pengetahuannya sendiri atau membangun gagasan-gagasan baru dan memperbaharui gagasan lama yang sudah ada pada struktur kognitifnya. Di samping itu, siswa juga diberi kesempatan untuk mencari dan menemukan sendiri pengetahuannya, melakukan observasi dan memecahkan masalah secara bersam-sama dalam kerangka kegiatan ilmiah, dan siswa juga diberi kesempatan untuk melakukan abstraksi atau suatu proses pemaknaan kehidupan sehari-hari yang dirujukkan dengan teori atau contoh-contoh yang ada. Dengan melalui serangkaian kegiatan tersebut diharapkan nilai-nilai ilmiah akan dengan mudah terinternalisasikan pada diri siswa.
CTL menekankan pada berpikir tingkat lebih tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisaan dan pensintesisan informasi dan data dari berbagai sumber ddan pandangan. Disamping itu, telah diidentifikasikan enam unsur kunci CTL, seperti berikut ini (University of Wasshington, 2001)
(1) Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penghargaan pribadi siswa bahwa ia berkepentingan terhadap konten yang harus dipelajari. Pembelajaran dipersepsi sebagai relevan denan hidup mereka;
(2) Penerapan pengetahuan: kemampuan untuk melihat bagaimana-apa yang dipelajari.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Balai Diklat Keagamaan (BDK) yang berjumlah 12 (dua belas) di seluruh Indonesia hanya sedikit yang mempunyai laboratorium kimia, kalaupun ada masih kalah lengkap dengan laboratorium yang ada di Aliyah, apalagi jika dibandingkan Perguruan Tinggi. BDK Surabaya sendiri belum mempunyai laboratorium kimia. Kalaupun ada alat-alat kimianya, itu jauh dari yang dibutuhkan. Disinilah letak dari kreatifitas Widyaiswara diharapkan muncul. Walaupun situasi kelihatannya tidak memungkinkan untuk melaksanakan praktek kimia, tapi pembelajaran kontekstual masih memungkinkan untuk dilaksanakan.
Bagi BDK yang belum mempunyai laboratorium kimia tapi mengharuskan adanya praktikum kimia, bisa dengan cara seperti yang sudah dilaksanakan oleh BDK Surabaya. Pada surat panggilan peserta dilampirkan alat-alat kimia yang harus dibawa oleh peserta diklat, sedangkan bahan-bahan kimia disiapkan oleh BDK. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan oleh BDK tidak terlalu besar. Contoh dari alat-alat praktikum kimia yang bisa dibawa oleh peserta adalah sebagai berikut.

LAMPIRAN

Alat-alat kimia yang perlu dibawa oleh peserta Diklat Guru Mata Pelajaran Kimia Madrasah Aliyah adalah sebagai berikut :

NO JENIS ALAT & BAHAN JUMLAH
1 Lumpang porselen dan Alu 1 set
2 Pelat tetes 1
3 Pipet tetes 3
4 Erlemeyer 250 Ml 1
5 Botol bekas kreatingdaeng atau sejenisnya 2
6 Sumbat gabus sebesar mulut botol kreatingdaeng atau Erlenmeyer 2
7 Pelubang sumbat gabus (gunting kecil/ obeng/ lainnya) 1
8 Tissue gelondong/ lembaran Secukupnya
9 Tabung reaksi 2
10 Sikat tabung reaksi 1
11 Baterai besar yang masih hidup 2
12 Baterai bekas kecil/ besar 1
13 Gelas ukur 100 mL 1
14 Termometer 1

Catatan :
• Bahan-bahan kimia dan beberapa alat praktikum disediakan Balai Diklat Keagamaan Surabaya
• Alat praktikum yang dibawa peserta disesuaikan dengan praktikum yang sudah direncanakan dan akan dilaksanakan dalam pelatihan di BDK.

Dalam tulisan ini akan diuraikan, apa yang dimaksud dengan CTL dan bagaimana CTL diaplikasikan pada diklat Guru Mata Pelajaran Kimia Aliyah. Diharapkan tulisan ini akan memberikan wawasan dan membuka pikiran para Widyaiswara IPA, khususnya WI kimia untuk senantiasa berinovasi dan bereksperimen menggunakan metode-metode alternatif dalam mengajarkan kimia di Balai Diklat Keagamaan di seluruh Indonesia.

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa menghubungkan pengetahuan yang dimilikinya dengan persoalan hidup sehari-hari. Dengan konsep ini, diharapkan pembelajaran yang terjadi akan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. John A. Zahorik memberikan pengertian tentang pembelajaran kontektual sebagai berikut : ”Knowledge is constructed by humans. Knowledge is not a set of fact, concepts, or laws waiting to be discovered. It is not something that exists independent of a knower. Human create or construct knowledge as they ettempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), penemuan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Sebuah proses dikatakan menggunakan pendekatan CTL apabila tgelah menerapkan beberapa komponen tersebut. Depdiknas memberikan batasan tentang prinsip-prinsip CTL tersebut.

Konstruktivisme (Constructivism)

Konstruktivisme (Constructivism) merupakan landasan berpikir pendekatan CTL, yakni pengetahuan dibangun oleh siswa sedikit demi sedikit dan hasilnya diperluas melalui konteksnya. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Dengan demikian pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”mengkonstruksi” bukan ”menerima” pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivime berbeda dengan pandangan pengamat objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Strategi ”memperoleh” lebih diutamakan dibanding seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pengalaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda atau berbentuk jaringan mental dari konsep-konsep yang berkait dan akan mempengaruhi pemahaman ketika konsep baru diterima. Jaringan tersebut skemata. Pengalaman yang sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi bermakna pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi bermakna struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan hadirnya pengetahuan baru.
Pembelajaran pada diklat guru kimia memungkinkan untuk diajarkan dengan menggunakan prinsip konstruktivisme, karena ketika peserta diklat memahami dan mendalami konsep-konsep tentang kimia dapat dimulai dari pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta diklat.

Penemuan (Inquiry)

Penemuan (Inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Widyaiswara harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Ada lima siklus inquiry, yaitu (1) observasi, (2) bertanya(questioning), (3) mengajukan dugaan (hipotesis), (4) pengumpulan data (data gathering), dan (5) penyimpulan (conclussion).

Bertanya (Questioning)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang bermula dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan WI untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir peserta. Bagi peserta siklat, kegaiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan strategi inquiry, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.
Dalam penerapannya di diklat, bertanya dapat diterapkan, antara peserta dengan peserta, antara peserta dengan WI, antara WI dengan peserta, dan antara peserta dengan orang lain (outsourching) atau pada saat observasi lapangan (OL). Aktivitas bertanya ditemukan ketika peserta berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, mengamati dan sebagainya. Kegiatan tersebut akan menumbuhkan dorongan untuk ”bertanya”.

Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru belajar memakai sepatu, ia bertanya kepada ibunya ”Ma, tolong pakaikan sepatu !” Ibunya membantu menggunakan sepatu dengan cara membuka tali sepatu, mengendurkan tali sepatu, memasangkan ke kaki, mengencangkan ikat sepatu. Dengan demikian anak dan ibu tersebut telah membentuk masyarakat belajar.
Hasil belajar di BDK diperoleh dari ”sharing” antara peserta satu dengan yang lain, antara peserta dengan WI, antara kelompok, antara yang tahu dengan yang belum tahu. Prosesnya bisa terjadi di kelas, di luar kelas selama masa kediklatan di BDK, dan dengan guru-guru di tempat observasi lapangan.
Dalam kelas CTL, WI disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Peserta dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang kelihatan pandai mengajari yang kurang, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat mendorong yang lambat, dan yang berinisiatif memberikan gagasannya. Kelompok diusahakan bisa diubah variasinya, baik jumlah maupun keanggotaannya.
Masyarakat belajar dapat terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah dan tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi. ”Widyaiswara yang terlalu berperilaku mengajari peserta” kurang mencerminkan masyarakat belajar, karena komunikasi yang terjadi hanya satu arah dan WI menjadi sangat dominan. Setiap anggota masyarakat belajar harus merasa bahwa setiap orang memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan berbeda yang harus dipelajari atau ditampilkan. Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan.

Pemodelan (Modelling)

Komponen CTL berikutnya adalah pemodelan (modelling). Dalam proses pembelajaran yang dimaksud dengan pemodelan adalah suatu bentuk pengetahuan atau keterampilan dengan memberi model yang dapat ditiru atau cara melakukan sesuatu. WI memberi contoh cara membuka kulit baterai, mengambil karbon di dalam baterai dengan tang/ catut dan mengeluarkannya. Model tidak harus selalu WI, bisa peserta yang dijadikan model. Misalnya salah satu peserta dalam kelompoknya tampil di depan kelas.

Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Peserta diberi kesempatan untuk ”mengendapkan” apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan lama. Dengan demikian peserta merasa telah memperoleh pengetahuan baru yang berguna bagi dirinya.

Penilaian Sebenarnya (Authentic Assesment)

Authentic Assesment adalah adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan peserta. Gambaran perkembangan belajar peserta perlu diketahui oleh WI agar bisa memastikan bahwa peserta mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang diperoleh menunjukkan bahwa peserta mengalami kesulitan belajar, maka secepatnya WI mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasinya. Assesment tidak harus selalu di akhir proses pembelajaran, tetapi dilakukan bersama-sama secara integral dalam proses pembelajaran. Kemajuan peserta dinilai dari proses, tidak hanya dari hasil. Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya membantu peserta bagaimana seharusnya belajar (learning how to learn), bukan ditekankan pada bagaimana sebanyak mungkin informasi dapat diperoleh di akhir pelajaran. Data dapat diperoleh dari pre test, post test, micro teaching, dan yang terpenting adalah WI harus dapat melihat gambaran kemajuan peserta secara langsung di dalam kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Penilaian autentik mengajak para peserta untuk menggunakan pengetahuan akademik dalam konteks dunia nyata untuk tujuan yang bermakna.

KONTEKSTUAL PADA PEMBELAJARAN KIMIA

Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yaitu Fisika, Kimia, dan Biologi konsepnya diperoleh dari hasil pengamatan dan penelitian ilmiah. Hal ini lebih mudah untuk mengaplikasikan kontekstual dalam proses pembelajaran dibanding mata pelajaran rumpun lain. Namun hal ini terkadang sulit untuk dilaksanakan karena beberapa faktor, seperti kurangnya inovasi dan motivasi dari Widyaiswara, alat dan bahan praktikum yang diperlukan, dan dukungan dana dari BDK. Ketiga faktor di atas harus ada untuk bisa melaksanakan kontekstual pada pelajaran IPA di BDK.

Contoh 1
Rencana Pembelajaran Berbasis CTL

Nama Diklat : Diklat Guru Mata Pelajaran Kimia MA
Mata Diklat : Pendalaman Materi
Materi Pokok : Reaksi Redoks
Sub Materi Pokok : Penyetaraan Reaksi Redoks
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Kompetensi Dasar : Peserta Diklat dapat menyelesaikan penyetaraan reaksi redoks

Langkah Pembelajaran :
1. Pendahuluan (Awal)
1. Sebagai kegiatan pembuka Widyaiswara(WI) mengajukan pertanyaan kepada peserta: ”Apakah yang dimaksud dengan reaksi redoks? Apakah kejadian sehari-hari yang melibatkan reaksi redoks?
2. Dengan instruksi dari WI, peserta diminta membentuk 10 kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 3 orang (jumlah peserta diklat perkelas di BDK sebanyak 30 orang).

2. Kegiatan Inti
1. WI menjelaskan bahwa penyetaraan reaksi dapat diselesaikan dengan dua metode, yaitu cara ½ reaksi dan cara bilangan oksidasi. WI menulis dua contoh reaksi redoks, satu soal dalam suasana asam dan satunya dalam suasana basa :
a) MnO4¯(aq)+ H2C2O4 (aq) → Mn2+ (aq) + CO2 (g) (suasana asam)
b) HPO3¯(aq) + BrO¯(aq) → PO43- + Br2 (aq) (suasana basa)
2. Dengan bimbingan WI, peserta diberi kesempatan untuk menyelesaikan contoh soal di atas dalam kelompoknya dengan cara ½ reaksi dan cara bilangan oksidasi. Setelah selesai, WI mempersilakan dua perwakilan kelompok yang paling cepat untuk mengerjakan di papan tulis. Satu perwakilan mengerjakan point a), dan satunya point b).
3. WI memberikan kesempatan pada kelompok lain untuk memberikan masukan dan akhirnya memberikan pemantapan pada jawaban yang paling tepat.
4. WI beserta peserta memberikan aplaus pada jawaban yang benar.
5. WI memberikan kartu soal yang berisi tiga soal reaksi redoks untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi dikumpulkan ke WI.
6. WI meminta kelompok yang jawabannya kurang tepat untuk mengerjakan di papan tulis. Hal ini bertujuan agar diskusi kelas dapat berkembang.
7. Peserta lain diberi kesempatan untuk mengoreksi dan memberikan masukan. WI memberikan pemantapan dan memberikan aplaus bersama-sama.

3. Penutup
Bersama peserta, WI merefleksikan kegiatan yang telah dilakukan dan membuat kesimpulan dalam menyelesaikan penyetaraan redoks.

Jika dicermati rencana pembelajaran yang ditempuh di atas, maka beberapa prinsip CTL dapat dilihat dari kegiatan sebagai berikut : (1) Proses Inquiry muncul pada saat peserta mengidentifikasi kejadian atau peristiwa sehari-hari yang melibatkan reaksi redoks; menemukan cara menyelesaikan soal penyetaraan reaksi redoks dengan lebih mudah, (2) Questioning muncul ketika WI membimbing peserta dengan pertanyaan ”apakah yang dimaksud dengan reaksi redoks” dan ” apakah kejadian sehari-hari yang melibatkan reaksi redoks”, serta bertanya dalam diskusi dengan teman kelompoknya, (3) Learning community terjadi pada saat kerja kelompok, saling bertanya dan berdiskusi antar peserta dalam kelompok dan dalam diskusi kelas, (4) Authentic assesment dilakukan ketika peserta berdiskusi, menyelesaikan soal di papan tulis, membetulkan jawaban yang salah dan lembaran jawaban yang dikumpulkan, (5) Constructivism terjadi bila dari semua langkah tersebut peserta diberi kesempatan untuk membangun dan memperdalam konsep penyetaraan reaksi redoks dengan cara membangun sendiri pengetahuan barunya berbasis pada pengetahuan atau pengalaman yang sudah dimiliki peserta, (6) Refleksi merupakan akhir dari kegiatan pembelajaran.

Contoh 2
Rencana Pembelajaran Berbasis CTL

Nama Diklat : Diklat Guru Mata Pelajaran Kimia MA
Mata Diklat : Pendalaman Materi
Materi Pokok : Reaksi Redoks
Sub Materi Pokok : Reaksi elektrolisis
Alokasi Waktu : 3 x 45 menit
Kompetensi Dasar : Peserta Diklat dapat melakukan praktikum penyepuhan

Langkah Pembelajaran :
1. Pendahuluan (Awal)
1. Sebagai kegiatan pembuka Widyaiswara(WI) mengajukan pertanyaan kepada peserta: ”Apakah yang dimaksud dengan reaksi elektrolisis? Apakah kegunaan dari penyepuhan? Apakah ada diantara bapak/ibu yang pernah melakukan penyepuhan emas, tembaga, atau logam lainnya?
2. Dengan instruksi dari WI, peserta diminta membentuk 10 kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 3 orang (jumlah anggota kelompok praktikum dibuat sedikit agar aktivitas peserta lebih intens).

2. Kegiatan Inti
1. Dengan bimbingan WI, peserta diminta untuk menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk praktek penyepuhan tembaga dan emas di atas meja masing-masing.
2. WI menjelaskan ”penyepuhan tembaga akan dilakukan oleh semua kelompok, sedangkan penyepuhan emas karena harga emas yang sangat mahal, maka cukup didemonstrasikan di depan kelas oleh salah satu kelompok. Cara penyepuhannya sama dengan penyepuhan tembaga”.
3. WI membagikan lembar kerja praktikum dan menjelaskan cara kerja penyepuhan tembaga. Peserta diminta untuk menyimak, mencatat, dan bertanya.”lempeng tembaga tipis kita potong kecil-kecil, lalu kita timbang seberat 0,2 gram. Taruh di cawan porselen, tambahkan air raja sedikit dan panaskan di atas api yang kecil. Tunggu hingga semua tembaga habis larut dan menjadi serbuk. Jika masih ada tembaga kecil-kecil, tambahkan lagi air raja sedikit hingga semua tembaga larut. Jangan menambah air raja berlebihan karena akan mengurangi keindahan hasil serbuk tembaga. Panaskan 300 gram air dalam beker gelas sampai suhu sekitar 500C lalu masukkan KCN atau NaCN (sebagai katalis). Masukkan sedikit air hangat tersebut ke cawan porselen yang berisi serbuk tembaga tadi hingga semua serbuk tembaga larut, kemudian masukkan kembali ke dalam beker gelas. Larutan tembaga tersebut siap digunakan untuk proses penyepuhan. Tahap ini merupakan tahap terakhir. Pertahankan suhu larutan sekitar 500C. Hidupkan trafo dan atur tegangan 10-12 volt DC. Ikat benda yang akan dilapisi tembaga ke kabel tembaga yang terhubung ke kutub negatif trafo dan celupkan ke dalam larutan tembaga selama 3 sampai 15 detik, tergantung besar kecilnya benda. Angkat benda tadi. Kutub positif bisa digunakan lempeng tembaga yang cukup besar atau kalau tidak ada, bisa digunakan sendok stainless steel. Untuk sepuh emas kutub positif sebaiknya digunakan lempeng platina(Pt), namun kalau tidak ada juga bisa digunakan sendok stainless steel.
4. Setelah semua peserta paham prosedur kerja praktikum penyepuhan, dengan bimbingan WI semua kelompok dipersilakan untuk melaksanakan praktikum sendiri-sendiri.
5. Setelah selesai praktikum, masing-masing kelompok mengumpulkan lembar kerja praktikum.
6. Dengan bimbingan WI salah satu kelompok diminta mempresentasikan lembar kerja hasil praktikumnya dan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dialami selama praktikum.
7. Dengan bimbingan WI, kelompok lain diminta memberikan masukan.
8. WI beserta peserta memberikan aplaus pada kelompok yang mau tampil presentasi.
9. Kelompok yang mau tampil diberi penghargaan untuk mendemonstrasikan proses penyepuhan emas dibimbing oleh WI. Peserta mengamati, mencatat dan bertanya.

3. Penutup
WI merefleksikan seluruh kegiatan dan membuat kesimpulan dari penyepuhan tembaga dan emas.

Jika dicermati rencana pembelajaran yang ditempuh di atas, maka beberapa prinsip CTL dapat dilihat dari kegiatan sebagai berikut : (1) Proses Inquiry muncul pada saat peserta mengidentifikasi kegunaan penyepuhan dalam kehidupan sehari-hari; menemukan perbedaan konsep penyepuhan di buku teks sekolah dengan praktikum sebenarnya; belajar mengambil kesimpulan dari data praktikum, (2) Questioning muncul ketika WI membimbing peserta dengan pertanyaan ”apakah yang dimaksud dengan reaksi elektrolisis” dan ” apakah kegunaan dari penyepuhan”, bertanya tentang prosedur kerja yang belum jelas dan dalam diskusi dengan teman kelompoknya, (3) Learning community terjadi pada saat kerja kelompok, saling bertanya dan berdiskusi antar peserta dalam kelompok dan dalam diskusi kelas, (4) Authentic assesment dilakukan ketika peserta berdiskusi, presentasi, dan lembaran kerja praktikum yang dikumpulkan, (5) Dari semua langkah tersebut peserta diberi kesempatan untuk membangun dan memperdalam konsep penyepuhan dengan cara membangun sendiri pengetahuan barunya berbasis pada pengetahuan atau pengalaman yang sudah dimiliki peserta, itulah makna constructivism, kemudian pembelajaran diakhiri dengan refleksi.

Penutup
Proses pembelajaran berbasis CTL tidak hanya sekedar memberi peran yang lebih besar kepada peserta diklat sebagai pelaku pembelajaran(apalagi diklat, pembelajarannya diharuskan memakai metode andragogi bukan paedagogi). Lebih dari itu, CTL seharusnya dapat menghasilkan pembelajaran yang berbentuk kecakapan hidup(life skill). Beberapa kecakapan hidup yang dimaksud berupa kecakapan sosial (sosial skill), kecakapan kerjasama dan kecakapan leadership. Kecakapan ini dibangun pada saat peserta berdiskusi dalam kelompok, melaksanakan praktikum bersama-sama, berkomunikasi lisan maupun tulisan. Kecakapan ini dibangun ketika peserta mempresentasikan hasil diskusi/ praktikum dan membuat hasil diskusi/ lembar kerja praktikum dalam bentuk tulisan.
Pembelajaran berbasis CTL juga dapat menumbuhkembangkan self awaraness peserta. Pada waktu mengerjakan soal yang dirasakan rumit, ternyata teman lain dapat mengerjakan lebih mudah. Konsep elektrolisis di buku ternyata tidak semudah atau berbeda jika dilakukan praktikum sebenarnya. Hal ini akan terbentuk kesadaran diri (self awareness) bahwa peserta masih perlu belajar lagi serta perlunya praktikum untuk mempermudah pemahaman dan pendalaman suatu konsep. Dampak lain dari pembelajaran berbasis CTL adalah terbentuknya kecakapan self regulation. Kecakapan ini terbentuk ketika peserta berdiskusi dengan temannya. Pada saat diskusi, peserta dilatihkan bagaimana cara mengendalikan emosi, cara menghargai pendapat orang lain, dan cara mengambil keputusan bersama.
Life skill dalam bentuk kecakapan berpikir rasional (thinking skill) juga terlatihkan pada proses pembelajaran berbasis CTL. Thinking skill ini terlatihkan ketika siswa melakukan proses inquiry. Pada proses ini dilatih untuk melakukan identifikasi, mengumpulkan data, mengolah data, dan belajar mengambil kesimpulan dari data yang ada. Kemampuan memberikan argumen saat berdiskusi dan mengambil kesimpulan secara tidak sengaja terlatihkan dari proses CTL. Life skill tersebut diperoleh peserta bukan dari dampak praktikum saja, melainkan dampak proses pembelajaran berbasis CTL.

Daftar Pustaka

Arief Zainul, ”Pendalaman Materi Kimia MA”, Makalah disampaikan pada ”Diklat Guru Mapel Kimia MA”, BDK Surabaya, 2007.
Anton J. Hartomo & Tomijiro Kaneko, Mengenal Pelapisan Logam (Elektroplating), Andi Offset, Yogyakarta
Departemen Pendidikan Nasional. Pendekatan Kontektual (Contextual Teaching and Learning, CTL), Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2002.
Indrawan Satoto Pamungkas, Menjadi Pengusaha elektroplating Chrome, CV.Andi Offset, Yogyakarta, 2007
Johnson, Elaine B. Contextual Teaching and Learning. Penerjemah Ibnu setiawan, Bandung: MLC, 2007
John A.Zahorik, Constructivist Teaching, Indiana: Phi-Delta Kappa Education Foundation, 2002.
Ratna Willis Dahar, Teori-teori Belajar, Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1998.
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Prestasi Pustaka, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar